Tuesday, April 15, 2008

The Messiest Place on Earth

Kalau bukan karena Kay dapet mimpi buruk ttg sebuah daerah bernama pasar minggu dan ibu-ibu penjual buah, rasanya malas menerbitkan tulisan ini. Dalam mimpi itu, aku pulang dari kantor lewat pasar minggu dan sesampainya disana, aku meminta dengan hampir menangis kepada dua orang ibu yang berjualan buah di sepanjang jalan pasar minggu itu untuk minggir ke area yang lebih luas, karena jarak mereka dengan kendaraan bermotor terutama bisa sungguh dekat. Rasanya sungguh mengerikan karena mereka membahayakan nyawa mereka sendiri. Namun, mereka rupanya enggan pindah dan aku harus sampai berulang kali meminta mereka pindah. mereka akhirnya pindah namun aku tahu, mereka akan segera menempati tempat lamanya keesokan hari. Dan inilah mengapa sungguh membosankan menuliskan sebuah hal yang tidak akan pernah bisa berubah sepanjang anak negeri Indonesia ini masih hidup. Eniwei, demi menghilangkan kekacauan pikiran, lebih baik aku menuliskannya saja..so, here we go...

Buat anda yang tinggal di Jakarta, pasti udah ga asing lagi dengan segala macam kesemrawutan tata kota, mulai dai jalan, pasar, gedung, bahkan sekolah. Semuanya dibangun tanpa ada sense tata kota yang baik. Pernah beberapa teman bilang, asal ada duit, IMB pasti keluar. cingcai lah itu...Apa hasilnya? kesemrawutan, ketidaktertiban, dan banjir...(bila ada pepatah yang bilang "siapa yang menanam angin, dia yang menuai badai..Jakarta adalah contoh yang paling tepat!)

Dan ngomong2 soal tempat yg semrawut di Jakarta, rasanya sulit untuk tidak menyebut pasar minggu. Daerah ini bisa dinilai salah satu yang paling semrawut disana. Dulu, sepanjang jalan menuju pasar minggu selalu dipenuhi dengan pedagang, mulai dari pedagang baju, buah, sayur sampai elektronik. Semuanya berserakan sepanjang hampir 1 kilometer. Akibatnya, jalanan yang harusnya 5 jalur, hanya jadi 2 jalur. Maka, terjebak dalam kemacetan selama 15 menit untuk melintasi pasar minggu dianggap sebagai satu hal yang WAJAR.

Keadaan semrawut ini coba dirubah dengan adanya penertiban massal sekitar sebulan yang lalu oleh Satpol PP dan Pemda dengan "senjata" Perda No. 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum. Selama "pembersihan" di malam hari, semua pedagang digusur dan harus masuk ke pasar. Sepertinya ada penolakan karena keadaan di pasar minggu terus tegang beberapa hari setelahnya. Pemda juga membagi jalan menjadi 3 jalur. Jalur paling kiri untuk kendaraan yang menuju ke arah terminal pasar minggu. Jalur tengah untuk yang mau ke arah pancoran dan depok. Sementara jalur paling kanan untuk kendaraan arah sebaliknya ( ke arah mampang). Upaya pembagian jalan ini sepertinya dimaksudkan agar para pedagang tidak kembali berdagang. dan jalan yang selebar 5 jalur itu tetap terbuka. Sungguh ajaib memang, jalan itu ternyata memang lebar. Bahkan pembersihan itu menyibakkan betapa kompletnya fasilitas umum di pasar minggu seperti kantor pos, puskesmas, kepolisian, departemen pertanian, bank, sampai dunkin donuts.

Tapi seperti yang selalu terjadi di negeri ini, efek dari pembersihan itu hanya sementara. Setelah sebulan berlangsung, para pedagang itu mulai kembali lagi ke pinggir-pinggir jalan. Mereka mulai menggelar lapak atau gerobak di sepanjang jalan. Akibatnya, pasar minggu kembali semrawut, meski tidak sesemrawut dulu.

Kesimpulannya??? Apa kata tertib dan nyaman itu tidak akan pernah sejalan dengan orang Indonesia? Mengapa semboyan "kebersihan sebagian dari iman" itu hanya jadi slogan belaka di negara yang mengaku agamis ini? Tidakkah kita semua mencintai keindahan dan kenyamanan? atau orang Indonesia memang "bahagia" dengan kesemrawutan? sungguh ironis betapa kenyamanan itu ada di negara-negara yang mengaku sekuler atau tidak agamis sekalipun. Dan semoga rasa indah dan nyaman itu bisa terdefinisikan dengan baik di hati saudara-saudara ku kelak kemudian hari

0 comments:

Post a Comment