Friday, January 28, 2011

jujur jilid dua

jujur itu kadang emang menyakitkan, tapi bersikap jujur juga sebuah bentuk pembebasan. Pembebasan diri dari ketidakjujuran. Menuju ke sebuah pembelajaran diri. Untuk tahu siapa kita sebenarnya..

Dan kali ini, gw akan mengatakan yang sejujurnya pula..

Satu, Gw lebih suka nonton drama dan dengerin musik dibanding membaca buku.
Burukkah? mungkin... tapi gw lega udah bisa mengakuinya..

Kedua, gw sangaaaat suka dengan deskripsi kerjaan unhcr.
Never in my life I was so exited on my job. Gw dah muak dengan kerjaan penelitian karena selama ini, kerjaan itu bikin gw frustasi. berkali-kali meneliti dan mencoba advokasi ke penguasa, tapi ga ada hasil yang memuaskan. Tampak nyata di depan mata. Makanya, ketika tahu ada kerjaan training itu, i am sooo exited! Disamping bisa jalan2 keliling Indonesia, ini juga bisa jadi pekerjaan yang membawa manfaat. Berbagi ilmu dan pengetahuan dengan banyak orang. Seperti pekerjaan dosen tapi tidak sepenuhnya begitu. trainer itu penyebar semangat dan manfaat.. semoga Allah mengijinkan ini menjadi pekerjaan yang terbaik untuk saat ini bagiku. amiiiinnn....

Tuesday, January 18, 2011

Jujur

Akhir-akhir ini jadi sering merenung. Bukan karena ga ada kerjaan ataupun kurang bahan tontonan drama. Tapi mungkin lebih karena perasaan galau yg memuncak.

Sudah hampir 4 bulan semenjak balik ke indonesia, tak jua lamaran pekerjaan mendapat jawaban yg positif. Yang ada hanya penolakan. Lantas kembali ke kehidupan lama. Bergaul dengan dunia anak lautan. Bergumul dengan dorama, musik dan video. Berkhayal dan bermimpi. Bukannya negatif lho ini. Karena disatu titik di sepanjang kegilaan itu, ada dua lagu yang menolongku mengatasi badai. Badai patah hati dan patah semangat.

Kini saat aku mulai berjalan tegak kembali, aku merasakan dorongan luar biasa untuk kembali jujur. Jujur pada diriku sendiri. Menanyakan apa mauku dan juga keinginanku. Kalau dalam istilah akademis yg diceritakan seorang teman, itu namanua mempraktekkan nlp, neuro linguistic programming.

Sudahlah apapun itu namanya, aku mau jujur. Sekarang dan seterusnya. Agar tenang dan jalan itu terbuka.

Pertama, aku suka beli buku tapi hampir2 aku tak pernah selesai membacanya. Nah, prasyarat utama menjadi seorang peneliti yg baik adalah banyak membaca. Kalau membaca saja aku malas, mungkinkah aku jadi peneliti yg baik? Mungkin karena itu juga, tesisku tak sempurna. Dan ketika kembali menjadi peneliti skrg, aku merasakan hamparan ketidakpuasan dan kehampaan yg menyesakkan.

Kedua, rupanya foto itu hanya sekedar hobi. Aku tak bagus untuk jadi profesional. Ya sudahlah kalau begitu.

Ketiga, aku mau bekerja di pbb ataupun lembaga internasional lainnya. Tapi nyatanya, semua aplikasiku gagal. Begitu juga dengan yg expert staff dpr yg jelas2 sesuai dengan latar belakangku. Aku jujur bingung. Letak kekurangan atau kesalahannya ada dimana. Apa memang takdirku di deplu? Entah lah.. Aku juga tidak tahu.

Keempat, aku mau berkarir di swasta. Tapi tak ada panggilan. Bingung juga..

Kelima, maunya jadi social whore. Apa juga kegiatan sosial diikuti. Mulai dari flp, akademi berbagi, smp kumpul2 brg temen. Semua diiyain. Dengan alasan, bikin social support system. Tapi kok bebannya besar ya. Pulang malam mulu dan keluar duit byk. Dan skrg rasanya udah ampir ga kuat. Mau meledak. Temen dikit ga papa, tapi aku tetep maruk. Yah at least, menyenangkan ada Temen baru dan tawaran baru berkat pelacuran sosial itu.

Keenam, pengen banget bikin buku. Tapi sampai detik ini, satu kalimatpun belum ditulis. Ini beneran ga sih niatnya?! ato emang gw beneran males nulis ya? Bullshit itu alasan ga ada mood atau kurang waktu. Lha wong ada kok mood dan waktunya. Ga ngerti juga kenapa?? Ato emang udah males nulis aja???

Ketujuh, soal kawin. Resah sih ga ketemu jg cowok yg katanya ditakdirkan untukku. Coba dicari2 kok ga ketemu juga. Alhamdulillah nya ketemu Imel, dpt cerita ttg pernikahan yg sepertinya memang tak selalu seindah dongeng. Bersyukur aku jadi single.

Kata kunci, aku harusnya banyak bersyukur dan jujur. Siapa tau kegalauan ini berujung pada sebuah pemahaman baru. Amin

Asakusa, Jakarta dan Tahun Baru

Pernahkah anda mendengar mengenai Asakusa Samba Festival? Festival tahunan ini adalah salah satu festival terbesar di Tokyo dan banyak mengundang minat turis domestik Jepang Dan asing tentunya. Diadaptasi dari festival samba rio de jeneiro di Brazil, Asakusa samba festival juga menghadirkan atraksi yg serupa. Ratusan bahkan ribuan orang berdandan segala rupa dengan bulu2 palsu beraneka warna. Benar-benar menghadirkan suasana pesta yg sebenarnya.

Tapi..disana letak masalahnya. Penari samba itu berpakaian minim. Dan sungguh membuat saya merasa malu sendiri ketika mau foto2 mereka. Padahal kostum mereka yg heboh itu justru yg jd atraksinya. Ketika melihat kembali foto2 itu, saya putuskan untuk menyimpannya sebgai koleksi pribadi. Tak sampai hati saya memperlihatkan sesuatu yg menentang Hati nurani. Tidak mau teman-teman Indonesia melihatnya. Atas nama moralitas dan religiusitas.

Hari ini, saya tiba-tiba dihadapkan pada sebuah kenyataan sosial Jakarta yg tidak pernah saya kenal sebelumnya. Samba festival itu hadir di Indonesia. Lebih tepatnya menjadi tema besar perayaan pergantian tahun di salah satu mall di Jakarta.

Gadis-gadis muda berpakaian minim berdandan menor dengan bulu-bulu aneka warna menari samba - banyak yg akhirnya dansa suka-suka saja asal terlihat seksi.

Saya jadi teringat tayangan segala aneka rupa Miss universe atau miss world. Pada bagian para peserta memakai swim suit alias pakaian renang, bagian itu pasti tidak ditayangkan. Alasannya cukup jelas: bagian itu mengekspos badan wanita dan karenanya bertentangan dengan nilai moralitas dan keagamaan yg dianut di negeri ini.

Lantas, kenapa ada pesta pamer yg katanya terlarang disini? Di depan para penari itu, ada berbagai macam orang. Laki-laki, perempuan, tua muda. Dan yg plg menyedihkan, anak-anak! Menikmati tontonan gratis yg katanya "terlarang" itu!

Saya hanya bisa menepi dari keramaian, tidak berani memandang. Ini pesta tahun baru yg pertama di mall dan mungkin yg terakhir pula. Tak kuasa pula aku pulang, atas nama kesetiakawanan.

Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Kelak, jika anak-anakku beranjak dewasa, lindungilah mata dan hati mereka. Seperti halnya ibuku melindungi jiwaku di masa kecil dan remajaku.