Tuesday, January 18, 2011

Asakusa, Jakarta dan Tahun Baru

Pernahkah anda mendengar mengenai Asakusa Samba Festival? Festival tahunan ini adalah salah satu festival terbesar di Tokyo dan banyak mengundang minat turis domestik Jepang Dan asing tentunya. Diadaptasi dari festival samba rio de jeneiro di Brazil, Asakusa samba festival juga menghadirkan atraksi yg serupa. Ratusan bahkan ribuan orang berdandan segala rupa dengan bulu2 palsu beraneka warna. Benar-benar menghadirkan suasana pesta yg sebenarnya.

Tapi..disana letak masalahnya. Penari samba itu berpakaian minim. Dan sungguh membuat saya merasa malu sendiri ketika mau foto2 mereka. Padahal kostum mereka yg heboh itu justru yg jd atraksinya. Ketika melihat kembali foto2 itu, saya putuskan untuk menyimpannya sebgai koleksi pribadi. Tak sampai hati saya memperlihatkan sesuatu yg menentang Hati nurani. Tidak mau teman-teman Indonesia melihatnya. Atas nama moralitas dan religiusitas.

Hari ini, saya tiba-tiba dihadapkan pada sebuah kenyataan sosial Jakarta yg tidak pernah saya kenal sebelumnya. Samba festival itu hadir di Indonesia. Lebih tepatnya menjadi tema besar perayaan pergantian tahun di salah satu mall di Jakarta.

Gadis-gadis muda berpakaian minim berdandan menor dengan bulu-bulu aneka warna menari samba - banyak yg akhirnya dansa suka-suka saja asal terlihat seksi.

Saya jadi teringat tayangan segala aneka rupa Miss universe atau miss world. Pada bagian para peserta memakai swim suit alias pakaian renang, bagian itu pasti tidak ditayangkan. Alasannya cukup jelas: bagian itu mengekspos badan wanita dan karenanya bertentangan dengan nilai moralitas dan keagamaan yg dianut di negeri ini.

Lantas, kenapa ada pesta pamer yg katanya terlarang disini? Di depan para penari itu, ada berbagai macam orang. Laki-laki, perempuan, tua muda. Dan yg plg menyedihkan, anak-anak! Menikmati tontonan gratis yg katanya "terlarang" itu!

Saya hanya bisa menepi dari keramaian, tidak berani memandang. Ini pesta tahun baru yg pertama di mall dan mungkin yg terakhir pula. Tak kuasa pula aku pulang, atas nama kesetiakawanan.

Tuhan, bolehkah aku meminta sesuatu? Kelak, jika anak-anakku beranjak dewasa, lindungilah mata dan hati mereka. Seperti halnya ibuku melindungi jiwaku di masa kecil dan remajaku.

0 comments:

Post a Comment