Tuesday, April 15, 2008

Islamophobia dan KTT OKI 2008

Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI) diselenggarakan di Senegal mulai 12-15 Maret 2008. KTT ini merupakan KTT OKI kesebelas dan pertama kali dilaksanakan di benua Afrika. Pertemuan dihadiri kepala negara dan kepala pemerintahan dari 57 negara termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Agenda pembicaraan dalam KTT OKI 2008 ini antara lain: (1) upaya meningkatkan citra Islam di dunia Barat terutama Amerika Serikat; (2) upaya memacu pertumbuhan ekonomi negara-negara miskin anggota OKI; (3) masalah perdamaian Timur Tengah, termasuk solusi atas konflik Palestina dan Israel; (4) masalah konflik Sudan dan Chad; (5) Islamofobia. Dari beberapa agenda tersebut, agenda yang dinilai paling penting adalah upaya membantu negara Afrika yang merupakan anggota OKI untuk keluar dari kemiskinan. Dalam kaitannya dengan upaya tersebut, sebenarnya sudah ada Islamic Solidarity Fund yang bernilai US$ 2,6 milyar dollar. Hanya saja, jumlah ini dinilai tidak cukup dan Presiden Wade sebegai Ketua KTT OKI untuk tiga tahun kedepan menghimbau jumlah ini ditingkatkan hingga mencapai US$ 10 milyar dollar.

Di akhir KTT, 55 delegasi anggota OKI menyepakati Dakar Declaration 2008. Intinya, deklarasi ini menegaskan upaya untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan dunia, upaya untuk menghadapi segala tantangan yang kini menghadang umat Muslim sedunia (mengacu pada beberapa kasus yang dinilai mencoreng wajah umat Muslim seperti gambar Nabi di Koran Denmark), dan upaya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi di negara-negara anggota OKI. Pencapaian lain dalam KTT ini adalah disepakatinya sebuah kode etik dan kerja yang baru untuk mendorong kredibilitas LSM / NGO kemanusiaan yang berafiliasi dengan OKI. Oleh karena itu juga, OKI sepakat untuk mendirikan pusat penanggulangan bencana alam di dalam badan OKI.

Diantara hasil keputusan dalam KTT OKI ke 11, keputusan negara OKI untuk menjaga perdamaian dan keamanan mendapat sorotan yang cukup besar. Pertama, hal ini berkaitan dengan pernyataan para pemimpin negara OKI yang mengutuk tindakan Israel yang tidak mematuhi Resolusi PBB mengenai berdirinya negara Palestina mendapat sorotan yang cukup besar. Hal ini tentu berkaitan dengan kemampuan negara OKI sendiri untuk memaksakan atau mendukung berdirinya negara Palestina.

Kedua, isu perdamaian dan keamanan yang kental juga mewarnai KTT dengan pernyataan tegas dari pemimpin negara OKI mengenai perbedaan terosisme dan okupasi. Terorisme dinilai sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Terorisme juga harus dibedakan dengan upaya sebuah bangsa untuk bebas dari kolonialisme (sekali lagi berkaitan dengan Palestina). Bahkan OKI menegaskan bahwa semua strategi untuk memerangi terorisme harus dilandasi dengan adanya pengakuan akar terorisme itu sendiri yaitu pendudukan asing, terorisme negara, ketidakadilan politik dan ekonomi serta penolakan atas hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination).

Pernyataan tersebut mengesankan bahwa negara OKI seolah mengisyaratkan niat kuat dan kekuatan negara – negara OKI untuk melaksanakan butir-butir dalam deklarasinya. Padahal, keinginan kuat ini belum dibarengi dengan kondisi yang memungkinkan di tengah kuatnya hegemoni AS di Timur Tengah beberapa tahun belakangan ini, khususunya setelah invasi AS ke Afghanistan dan Irak. Maka, masih menjadi pertanyaan apakah butir-butir dalam Deklarasi Dakar 2008 bisa dilaksanakan atau tidak dalam beberapa tahun kedepan.

Bagian yang justru paling menarik dari KTT ini adalah mencuatnya isu Islamophobia. Kata Islamophobia ini mengacu pada adanya satu ketakutan terhadap Islam dan atribut-atributnya. Islamophobia ditunjukkan dengan berbagai macam jenis. Dan salah satu yang paling terkenal tentu saja dengan membawa atribut Islam ke dalam kondisi "melawak" atau tidak sebenarnya. Upaya ini dinilai mendeskriditkan Islam atau untuk melanggar aturan yang sudah disakralkan oleh Islam. Apa buktinya? pemuatan gambar nabi di koran Denmark (sebanyak dua kali) dan terakhir, munculnya film pendek "Fitna" berdurasi 15 menit di Youtube. Kedua kejadian ini memancing reaksi yang sangat keras dari umat Islam di berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, berbagai organisasi masyarakat Islam menggelar aksi protes. Ada yang demonstrasi besar-besaran, dan ada pula yang aksi damai

Kalau dicermati lebih dekat, sebenarnya aksi-aksi ini bisa jadi menguatkan Islamophobia itu sendiri. Karena apa? Masyakarat Muslim kemudian dikenal sebagai masyarakat yang bertemperamen keras, sejalan dengan aliran "teroris" yang banyak ditujukan kepadanya. Respon keras itu dinilai sebagai bagian dari ajaran kekerasan yang terkandung dalam Islam. Sungguh ironi memang..sebuah seruan protes dinilai sebagai kekerasan itu sendiri. dan cara ini malah makin memperkuat Islamophobia.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kejadian-kejadian ini murni bikinan orang yang terkena Islamophobia atau "proyek" belaka? Kecurigaan adanya proyek ini bisa dikaitkan dengan tesis "the clash of civilization" yang dikeluarkan oleh Samuel Huntington hampir satu dekade lalu. Huntington berteori bahwa akan konflik modern bukan lagi konflik kepentingan negara seperti yang disaksikan dalam perang dunia 1 atau 2, melainkan konflik antar kebudayaan. Bisa jadi konflik antara budaya Timur dan Barat, atau bisa pula Budaya Islam dan Kristen. Lantas, apa kemunculan Islamophobia ini murni atau proyek lanjutan dari tesis Huntington? Kita akan membahas ini di tulisan selanjutnya

Salam damai semua ^_^

0 comments:

Post a Comment