Semenjak pulang ke Indonesia, aku memilih untuk menonton serangkaian film karya anak negeri sendiri. Disamping promosi teman-teman sedari aku di Jepang, serangkaian review yang kubaca di internet menarik minatku. Maraton itu diawali dengan film "emak ingin naik haji", dilanjut dengan "garuda di dadaku", "merah putih", dan terakhir "sang pencerah". Dan ada sesuatu yang terasa spesial dengan film "Sang Pencerah" yang baru saja kutonton malam ini.
Sang Pencerah bertutur mengenai perjalanan KH Ahmad Dahlan dalam meluruskan praktik agama Islam di Indonesia pada awal abad 20. Terlahir dengan nama Muhammad Darwisy, KH Ahmad Dahlan memulai perjalanannya dengan melakukan haji di kala usianya baru 15 tahun. Haji itu dilanjutkan dengan belajar agama Islam selama 5 tahun. Sepulangnya ia ke Indonesia, ia melanjutkan dakwahnya dengan menjadi khatib Masjid Besar Yogyakarta. Namun, ketidaksepakatan atas arah kiblat dimana KH Ahmad Dahlan memberikan arah yang baru mengakhiri karirnya sebagai khatib. Hampir saja ia berputus asa ketika langgarnya di rusak setelah perseteruan itu. Namun, dorongan kakak perempuannya membuatnya tetap tinggal di Yogyakarta untuk melanjutkan dakwah. Setelah itu, berbagai upaya ia lakukan dalam meluruskan praktek Islam yang kala itu masih kental dengan nilai-nilai mistik atau budaya kejawen. Upaya-upaya itu akhirnya bermuara pada pembentukan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial yang bergerak di bidang pendidikan. Pendidikan adalah kunci dari upayanya mencapai apa yang temaktub dalam Surah Ali Imran 4, melalakukan amar ma'ruf nahi munkar.
Dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah sedari kecil, film ini cukup mengguncang aku. Sungguh dangkal pengetahuanku mengenai lingkungan sosial tempat aku dibesarkan. Dalam benakku selama ini, Muhammadiyah lebih pada mengajarkan nilai-nilai mendalami Islam secara lebih modern, tidak terikat dan sangat toleran. Menjadi bagian dari Muhammadiyah berarti mempraktekkan Islam dari akal. Memakai hati terlalu banyak akan terjembab dalam ekstrimisme agamis yang sayangnya selalu aku salah artikan dengan budaya manut ulama seperti dalam budaya NU. Kembali, aku terjebak dalam lingkaran setan perseteruan NU - Muhammadiyah yang sudah menjadi rahasia umum.
Film ini seolah mengingatkan aku kembali bahwa agama itu dipraktekkan dengan dua hal, akal dan hati. Momentum itu datang saat adegan dimana KH Ahmad Dahlan mengajar untuk pertama kalinya di sekolah Belanda. Saat itu, ucapan salamnya dibalas dengan kentut oleh salah satu murid keturunan Belanda. Dihadapkan dengan situasi tersebut, Kyai Dahlan bertanya kepada semua muridnya siapa yang mau kentut lagi. Saat tak satupun muridnya menjawab, ia lantas menjelaskan betapa besarnya nikmat kita bisa kentut. Kalau kita tidak kentut sementara perut kita terus diisi dengan gas, maka niscaya perut kita akan meledak. Untunglah, Tuhan sayang pada manusia. Sehingga diberikan-Nya setiap manusia alat pembuangan agar ia bisa kentut dan buang hajat. Dengan itu, manusia bisa makan atau minum sepuasnya. Sungguh besar kasih sayang-Nya pada manusia, alat pembuangan itu diberikan secara gratis.
Segratis udara yang kita hirup. Filosofi yang sama yang diajarkan oleh ibu bertahun-tahun lalu. Kala itu, aku dirawat di rumah sakit karena asma yang muncul setelah aku dikagetkan dengan letusan balon gas di taman. Sebuah trauma yang harus kuakui masih bersisa hingga hidupku yang setua ini. Saat dirawat, ibu tiba-tiba bertanya padaku apakah aku tahu betapa banyak uang yang harus dibayar untuk tiap tabung udara yang kugunakan untuk menopang hidup selama di rumah sakit. Saat itu ibu bilang, untuk satu tabung udara, ibu membayar sekitar 15 ribu rupiah. Berarti sudah 60 ribu dikeluarkannya untuk 4 tabung udara selama seminggu aku dirawat. Lantas ibu bertanya, pernahkah aku bayangkan betapa besarnya uang yang harus kita bayar untuk semua udara yang sudah kita hirup agar tetap hidup.
Dan filosofi gratis itu muncul kembali. Untungnya, Tuhan sayang pada manusia. Diberikannya udara itu gratis. Gratis tanpa ada pungutan biaya apapun. Gratis pula alat-alat pernapasan yang kita miliki. Jadi kita tidak perlu membayar apapun untuk bernapas dan hidup. "Oleh karena itu dek, berterimakasihlah terus pada Allah. Allah yang sudah memberikan udara gratis. Cobalah sholat yang bener, ngaji yang bener. Itu bisa jadi ungkapan terimakasihmu pada Allah", pesan ibu kala itu. Sebuah pesan yang hingga kini selalu menjadi pengingat bagiku bahwa agama itu memang butuh elemen hati dan akal dalam menjalaninya.
Cari kebenaran itu melalui akal, baru percayai dan lakukan. Kita menemukan alasan kita sendiri untuk melakukan ajaran agama, sebuah hal yang sebetulnya susah mengingat banyak hal dalam agama yang terkadang harus diakhirkan dengan kata "itu sudah ketentuan dari sana-Nya". Seperti kenapa kita tidak boleh makan babi misalnya. Semoga segala yang gratis itu terus menjadi pengingat kita.
Tuesday, October 5, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment